Belanda memerlukan banyak sekali tentara. Pada periode 1946-1949 saja sebanyak 120.000 perwira dan prajurit wajib militer (wamil) telah dikirim untuk bergabung dengan KNIL dan marinir.
Mereka bersama-sama dikerahkan untuk mempertahankan koloni Nederlands-Indie (Hindia Belanda) agar tidak lepas, sekaligus bertempur melawan prajurit Republik Indonesia yang baru lahir dan wilayahnya oleh Belanda hanya diakui sebagian.
Pertempuran tersebut diintensifkan pada dua kesempatan invasi militer, yang diklaim Belanda sebagai politionele acties (tindakan polisioanl) untuk menertibkan para pengacau keamanan dan ekstrimis.
Dengan sebutan itu, Belanda ingin menunjukkan kepada dunia bahwa tindakannya tersebut sekadar untuk memulihkan keamanan dan ketertiban di wilayah kerajaan, sementara bangsa-bangsa seluruh dunia mengetahui (melalui perjuangan radio, red) bahwa yang terjadi sebenarnya adalah perang kemerdekaan antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan kekuatan kolonial.
Invasi pertama dilancarkan oleh Belanda pada 21/7/1947 dengan kode sandi “Product”. Peristiwa yang oleh pihak Indonesia disebut sebagai Agresi Militer Belanda I tersebut ternyata didasari motif ekonomi: Belanda yang telah jatuh miskin (dicaplok Nazi dalam Perang Dunia II) memerlukan devisa, yang diharapkan bisa diperoleh dari menjual produk perkebunan dan tambang dari bumi Indonesia.
Agresi Militer Belanda II dilakukan oleh Belanda pada 20/12/1948. Tujuannya untuk mematikan republik secara politik dan militer sekaligus. Namun masyarakat internasional melalui PBB mengecam tindakan Belanda tersebut.
Hal itu tercermin dari resolusi-resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan (DK) PBB. Bahkan negara-negara sekutu Belanda seperti AS tidak mencegah keluarnya resolusi itu.
Kabinet Belanda di Den Haag hasil koalisi partai Katolik KVP dan Partai Buruh PvdA memilih kebijakan yang semakin agresif terhadap Indonesia. Konsekuensi dari kebijakan tersebut tentu diperlukan sumberdaya yang luarbiasa, baik finansial maupun militer.
Di dalam Negeri Belanda sendiri banyak pemuda wajib militer yang menolak untuk dikirim ke Indonesia. Jumlahnya diperkirakan mencapai 4000 hingga 6000 orang. Fakta ini disembunyikan rapat-rapat. Publikasi atas hal ini dikhawatirkan akan makin memperluas gelombang pembangkangan.
Para pemuda yang menolak terus diburu dan ditangkap, untuk selanjutnya dikirim ke Schoonhoven. Di sana mereka menjalani hukuman yang berat.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberi kritik atau saran dengan menulis komentar dibawah ini